RATUSAN RIBU HADIRI HAUL KH. HASAN SEPUH

Probolinggo. Ribuan warga menghadiri Haul ke 71 Al Aribillah KH Moh Hasan bin Syamsuddin bin Qoiduddin atau yang di kenal dengan Kiai Hasan Sepuh Genggong Haul ini berlangsung di Pondok Pesantren Zainun Hasan Genggong pada Sabtu ( 20 /4).

Selain dihadiri oleh ribuan warga dari berbagai daerah di Indonesia , hadir juga Wakil Ketua Umum PBNU , KH Zulfa Mustafa , prof, Ahmad Muzakki. Serta Pj Bupati Probolinggo Ugas Irwanto.

Dalam biografinya yang dibacakan oleh KH Moh Haris Damanhuri Romli (Gus Haris ), Kiai Sepuh yang lahir di Desa Sentong Kecamatan Krejengan Kabupaten Probolinggo 27 Rajab 1259 Hijriyah / 23 Agustus 1843 Masehi – meninggal di Genggong 11 Syawal 1374 hijriyah / 1 juni 1955 Masehi.

Kiai Hasan Sepuh adalah putra dari pasangan suami istri bernama Kiai Syamsuddi dan Nyai Khadijah. Suami istri yang alim dan taat kepada Allah SWT ini karib disapa Kiai Miri dan Nyai Miri. Beliau berdua tinggal di Desa Sentong, Kecamatan Krejengan, Kabupaten Probolinggo.

Sebelum Kiai Hasan Sepuh lahir, Kiai Miri bermimpi suatu hal yang teramat indah. Dalam mimpi, Kiai Miri dengan jelas melihat Nyai Miri, sang istri, merenggut bulan purnama, lalu memakan bulan itu tanpa sisa.

Tak lama setelah mimpi tersebut, Nyai Miri hamil. Dalam hitungan bulan, si jabang bayi lahir. Nama yang diberikan oleh pasutri tersebut adalah Ahsan. Kelak, Ahsan dikenal sebagai KH Mohammad Hasan.

Kiai Miri tak cukup lama bisa membesarkan Kiai Hasan Sepuh. Kiai Miri wafat ketika Kiai Hasan Sepuh masih kecil. Sehingga Kiai Hasan Sepuh dibesarkan oleh sang Ibu, Nyai Khadijah.

Kiai Hasan Sepuh di masa kecil sudah memiliki sifat-sifat luar biasa. Beliau adalah bocah yang sopan, tawadlu`, ramah-tamah kepada semua pihak, dan juga dermawan. Beliau juga memiliki pikiran yang sangat cerdas, cepat daya tangkap hafalannya serta teguh daya ingatnya, dan qonaah (menerima apa adanya).

Sejak kecil, Kiai Hasan Sepuh telah tekun mengikuti pengajian dan pendidikan yang diberikan oleh pamanda Kiai Hasan Sepuh yang bernama KH Syamsuddin di Pondok Sentong. Beliau inilah guru pertama dari Kiai Hasan Sepuh.

Pada usia 14 tahun, Kiai Hasan Sepuh dan sepupunya yang bernama Kiai Rofi`i, yakni putra dari KH Syamsuddin, mondok di Pesantren Sukonsari, Pojentrek Pasuruan yang diasuh oleh KH. Muhammad Tamim.
Suatu ketika, Kiai Tamim menyampaikan kepada para santri bahwa beliau ingin memperbaiki bangunan pondok. Kepada para santri, beliau menyampaikan bahwa beliau ingin meminjam uang untuk biaya pembangunan. Dari sekian santri tersebut, ada 2 santri yang merespon kehendak Kiai Tamim. Yakni Kiai Hasan Sepuh dan Kiai Rofi’i.

Kedua santri ini rupanya memiliki tabungan uang yang disimpan di loteng kamar. Seluruh tabungan itu diserahkan kepada Kiai Tamim, secara tulus dan ikhlas dan tidak berharap tabungan itu dikembalikan oleh Kiai Tamim. Kiai Tamim terharu, Beliau mendoakan Kiai Hasan Sepuh dan Kiai Rofi`i.

Dari Pasuruan, dua remaja ini mondok di pesantren yang diasuh KH. Kholil Bangkalan Madura. Setelah mondok selama 3 tahun, Kiai Rofi’i berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji sekaligus memperdalam ilmunya. Keberangkatan sepupu telah menerbitkan pula keinginan Kiai Hasan Sepuh untuk pergi ke Mekkah.

Selang beberapa waktu kemudian, berangkatlah Kiai Hasan Sepuh ke Mekkah atas persetujuan dan doa sang Ibu dan Kiai Kholil Bangkalan. Tidak mudah bagi Kiai Hasan untuk berangkat ke Mekkah, sebab bekal yang dibawa hanyalah cukup untuk ongkos perjalanan. Namun, kebulatan tekad dan restu ibu dan guru, mengantarkan Kiai Hasan Sepuh tiba di Mekkah untuk menunaikan ibadah haji dan belajar.

Setiba di Mekkah, suatu ketiak Kiai Rofi`i mengajak Kiai Hasan Sepuh menemui seorang rekan mereka bernama Abdul Qahar. Keperluan mereka adalah untuk bermujadalah (berdebat). Kenyataannya Almarhum mampu menghadapinya dengan baik.

Kiai Hasan Sepuh juga pernah diajak berdebat dengan seorang ulama besar di Mekkah. Di akhir perdebatan, ulama tersebut menyatakan bahwa Kiai Hasan Sepuh adalah seorang Alim.
Selang beberapa tahun kemudian, Kiai Hasan Sepuh dan Kiai Rofi’i akhirnya pulang ke Indonesia. Dalam perjalanan pulang, Kiai Rofi’i heran karena barang yang dibawa Kiai Hasan Sepuh tidak banyak. Juga, tidak ada kitab yang dibawa pulang oleh Kiai Hasan Sepuh. Rupanya seluruh kitab tersebut telah dishodaqohkan seluruhnya oleh Kiai Hasan Sepuh.

Ulama besar yang pernah menjadi guru dari Kiai Hasan Sepuh di antaranya adalah:

  1. KH. Syamsuddin, KH. Rofi`i, Sentong Krejengan
  2. KH. Muhammad Tamim, Sukunsari Pasuruan
  3. KH. Cholil, Bangkalan Madura
  4. KH. Jazuli, Madura
  5. KH. Muhammad Nawawie bin Umar Banten, di Mekkah
  6. Kiai Marzuki, Mataram, di Mekkah
  7. Kiai Muqri Sunda, di Mekkah
  8. Sayyid Bakri bin Sayyid Muhammad Syatho Al-Mishri
  9. Habib Husain bin Muhammad bin Husai Al-Habsyi, Mekkah
  10. Habib Ali bib Ali Al-Habsyi, Madinah
  11. Syekh Sa`id Al-Yamani, Mekkah
  12. Syekh Nahrowie, Sepanjang Surabaya
  13. Syekh Chotib, Bangkalan Madura
  14. Syekh Ma`shum, Sentong, Krejengan
  15. Aqidatut Tauhid
    Kitab tentang Tauhid ini terdiri dari 75 bait nadzam. Menurut salah satu riwayat, kitab ini dikarang oleh beliau pada saat-saat terakhir ada di Pesantren asuhan KH. Mohammad Kholil Bangkalan. Artinya, kitab ini dikarang ketika Kiai Hasan Sepuh masih berusia cukup muda.
  16. Nadzam Safinatun Najah
    Kitab yang mengupas persoalan-persoalan fiqh sehari-hari ini terdiri dari 233 bait nadzam. Kitab ini mendapat pujian dari Sayyid Muhammad Amin al-Quthbi yang terang-terangan mengatakan Kiai Hasan Sepuh sebagai waliyullah kepada KH. Hasan Saifouridzall.
  17. Al-Hadits an-Nabawi: `alaa Tartib al-Ahruf al-Hijaiyah
  18. Khutbah Nikah
  19. Khutbah Jum`at
  20. Asy-Syi`ru Billughotil Manduriyah

Sepulang dari Mekkah, kedua pemuda alim ini mendapat sambutan dari kerabat dan tetangganya di Desa Sentong. Tanpa disadari Kiai Hasan Sepuh, nama beliau telah masyhur di kalangan alim di Probolinggo. Hal itu mengundang simpati dari seorang Kiai berpengaruh di Probolinggo bernama KH Zainal Abidin. Kiai Zainal Abidin adalah pendiri Pondok Pesantren Genggong.

Selang beberapa waktu kemudian, terjadilah pernikahan antara Kiai Hasan Sepuh dengan seorang gadis bernama Ruwaidah. Nyai Ruwaidah adalah putri dari KH Zainal Abidin. Kelak, Kiai Hasan Sepuh diberi amanah untuk melanjutkan tugas Kiai Zainal Abidin sebagai pengasuh Pesantren Genggong.

Sepanjang hidup, Kiai Hasan Sepuh 8 kali menikah. Beliau dari Nyai Ruwaidah, beliau memiliki seorang putra bernama KH. Ahmad Nahrawi. Selanjutnya, beliau menikah dengan Nyai Syari’ah dan memiliki putra bernama KH. Asnawi.
Pernikahan berikutnya adalah dengan Nyai Patwi. Kiai Hasan Sepuh memiliki seorang putri bernama Nyai Raihanah.

Beliau juga menikah dengan Nyai Patmi dan Nyai Fu’. Namun dari 2 pernikahan ini tidak melahirkan keturunan.
Selanjutnya, beliau menikah dengan Nyai Hj. Siti Aminah dan memiliki seorang putra. Yakni KH. Hasan Saifouridzall.

Pernikahan berikutnya adalah dengan Nyai Hj. Suwarsih yang mana beliau memiliki putra bernama Nun Abdul Hayyi.
Terakhir, Kiai Hasan Sepuh menikah dengan Nyai Arba’ina dan memiliki 2 putri. Yakni Nyai Fathimah dan Nyai Maryam.

Sudah menjadi cerita masyhur dan sudah umum di telinga warga Nahdliyyin bahwa Almarhum Al-Arif Billah Kiai Hasan Sepuh adalah salah satu penggerak dan pejuang di dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Ketika NU berdiri pada tahun 1926 di Jombang, beliau terlibat dalam pendirian organisasi terbesar di Indonesia tersebut.

Pada tahun 1930, Kiai Hasan Sepuh diminta menjadi Pengurus Cabang NU pertama di Probolinggo. Kiai Hasan Sepuh ditunjuk langsung oleh Rais Akbar PBNU Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Syuriyah PCNU pertama di Probolinggo.

Cinta Kiai Hasan Sepuh kepada Nahdlatul Ulama cukup besar. Hal itu tampak dari perhatian dan sabda-sabda yang disampaikan. Beliau juga pernah menyampaikan, “NU adalah Jam’iyyah yang diridloi Allah”.

Perhatian beliau kepada NU juga dibuktikan dengan seringnya menghadiri acara-acara besar NU, pengajian akbar dan Muktamar yang diselenggarakan bersama para pembesar ulama-ulama yang masyhur akan kealiman, keilmuan dan keunggulannya.

Beliau juga sempat di minta memberikan fatwa dan pengarahan kepada mereka yang hadir di acara tabligh akbar dan perhelatan muktamar NU tersebut. Beliau juga kerap menjawab beberapa as’ilah (masalah-masalah) diniyah yang dibahas didalam muktamar lengkap dengan pengambilan dasar Alquran, hadits, ijma dan qiyas.

KH. Amin Fathullah, mantan Ketua PCNU Kota Kraksaan pernah bercerita kepada Nun Hassan Ahsan Malik. Suatu ketika, Kiai Fathullah, Abah dari KH. Amin Fathullah pernah mengikuti rapat NU di luar Jawa Timur.
Sepulang dari rapat tersebut, Kiai Fathullah pulang ke kediaman beliau di Desa Sebaung, Kecamatang Gending, Kabupaten Probolinggo. Waktu itu sudah tengah malam.

Kiai Fathullah berniat bahwa keesokan harinya beliau akan sowan ke Kiai Hasan Sepuh Genggong untuk menyampaikan perihal hasil dari keputusan rapat NU tersebut.

Keesokan paginya, usai melaksanakan sholat subuh, saat matahari masih belum terlalu tinggi, lamat-lamat terlihat ada delman yang datang masuk ke dalam kediaman Kiai Fathullah. Penumpang dokar tersebut adalah Kiai Hasan Sepuh bersama kusirnya.

Kiai Fathullah tertegun dan kaget. Beliau lantas berlari menghampiri delman tersebut lalu mempersilahkan Kiai Hasan untuk masuk ke dalam kediaman.
Di dalam kediaman, pertanyaan pertama yang ditanyakan oleh Kiai Hasan adalah, “Bagaimana hasil rapat pada pertemuan Nahdlatul Ulama kemarin?”

Kiai Fathullah sungguh kaget dan takjub. Beliau menyempatkan diri hadir jauh-jauh ke Gending hanya untuk menanyakan hasil rapat pertemuan NU.
Hal ini menandakan betapa Al-Arif billah Kiai Hasan Sepuh sangat memperhatikan organisasi Nahdlatul Ulama dan apapun yang ada di dalamnya.

Di kalangan warga dan pengurus Nahdliyin, sudah jamak bahwa Kiai Hasan Sepuh adalah ulama yang menjadi rujukan. Sowan kepada beliau adalah suatu hal yang lumrah dilakukan oleh segenap pengurus NU dari banyak daerah.

Selain meminta doa dan restu, para pengurus NU juga memohon nasihat serta petunjuk-petunjuk yang baik. Banyak pula yang memohon ijazah dari beberapa dzikir dan hizib demi mendapat keberkahan dari Kiai Hasan Sepuh.

Pada masa kolonial Belanda, suatu ketika Kiai Hasan Sepuh kedatangan segerombolan tamu. Semuanya adalah orang-orang Belanda. Kunjungan ini terbilang tak lazim. Sebab mereka datang untuk meminta doa dari Kiai Hasan Sepuh.

Rasa kasih sayang Kiai Hasan Sepuh kepada siapapun cukup besar. Terutama tamu yang datang kepada beliau. Sekalipun itu Kolonial Belanda, tetap beliau hormati. Bahkan Kiai Hasan Sepuh memenuhi permintaan mereka.
Beliau berdoa untuk orang-orang Belanda itu. Namun ada sedikit keanehan dan tidak lumrah dalam doa yang beliau panjatkan. Disebut tidak lumrah karena doa yang beliau panjatkan adalah doa yang biasa dibaca saat sholat subuh. Yaitu doa qunut.

Setelah tamu Belanda pulang, Kiai Hasan Sepuh mengajak kusir delmannya untuk keliling ke sejumlah desa. Di sepanjang perjalanan, Kiai Hasan Sepuh menyapa masyarakat dari atas delman sembari menyampaikan pesan wejangan.
Dawuh beliau, “Teggheni imanna, Cung. Teggheni imanna, Cung”. (Kuatkan iman kalian, Nak. Kuatkan iman kalian, Nak)

Kiai Hasan merasa khawatir kedatangan tamu Belanda itu berdampak kepada ummat. Beliau khawatir umat terjerumus dan terbawa oleh ajakan untuk menanggalkan keimanan mereka. Sehingga Kiai Hasan Sepuh rela turun langsung
untuk menjaga keimanan masyarakat pada saat itu.

Kasih sayang semacam ini diajarkan oleh junjungan mulia Nabi Besar Muhammad Shollallahu ‘Alaihi Wasallam. Kiai Hasan Sepuh selalu berpesan kepada masyarakat untuk memperkuat Iman setiap kali beliau berdakwah. Meski menghadapi ujian dan tantangan berat, namun akan beliau lalui.

Setiap Ramadan, Kiai Hasan Sepuh memberikan pengajian kitab untuk para santri. Kitab tersebut dibaca dalam jangka waktu tertentu untuk di-hatam-kan pada pertengahan bulan. Setelah itu, santri diperbolehkan pulang ke rumah masing-masing.

Seperti halnya di tahun 1374 hijriyah atau 1955 masehi. Pada Ramadan tahun itu, Kiai Hasan Sepuh membacakan kitab Dzurrotun Nashihiin untuk para santri. Beliau berkenan memberikan pelajaran kitab Tafsir Al-Jalalain.
Pada pengajian hataman atau pengajian terakhir, beliau meminta para santri agar kembali pada tanggal 10 syawal. Demikian juga dengan para wali santri. Padahal, biasanya, santri kembali ke pondok dari liburan Ramadan dan Idul Fitri adalah pada tanggal 15 syawal.

Kiai Hasan Sepuh menyampaikan bahwa pada tanggal 11 Syawal akan ada pengajian akbar. Ucapan beliau itu menyiratkan akan ada pengajian akbar yang akan dilaksanakan pada tanggal 11 Syawal.
Setelah itu, para santri pulang liburan. Pada 20 Ramadan, Kiai Hasan Sepuh jatuh sakit.

Suatu ketika KH. Syamsul Ma’arif, hadam terakhir Kiai Hasan Sepuh, berkisah kepada putranya dan beberapa tamunya. Kisah yang disampaikan adalah detik-detik wafatnya Kiai Hasan Sepuh.

Menurut Kiai Syamsul Ma’arif, Kiai Hasan Sepuh wafat di dalam kamar pribadi beliau sendiri. Kiai Syamsul Ma’arif hanya bisa terpaku sedih saat mengetahui bahwa Kiai Hasan Sepuh sudah dinyatakan tiada, menghadap Allah ta’ala. Padahal saat itu ada seseorang yang ditunggu oleh Kiai Hasan Sepuh. Yakni sang putra satu-satunya, KH. Hasan Saifouridzall yang sedang dalam perjalanan pulang kembali ke Genggong.

Kala itu, hanya berkumpul beberapa keluarga yang sedang menemani beliau. Isak tangis di mana-mana meratapi kepergian Sang Wali Allah.
Lalu, tak lama kemudian, KH Hasan Saifouridzall hadir dan masuk ke dalam kamar. Beliau langsung molar (menangis), merajuk, dan berkata: “Aba, Abdinah mek edinah sareng ajunan”. (Aba, saya kok ditinggalkan oleh Ajunan).

Sesaat setelah itu, tiba-tiba Kiai Hasan Sepuh membuka kembali kedua mata beliau. Subhanallah!!! Beliau hidup kembali, Lalu berkata dengan lirih: “Napeh Cung?” (Ada apa, Nak?). Lalu Kiai Hasan Sepuh berusaha bangun dari tidurnya untuk duduk. Kiai Hasan Sepuh lantas mengambil kopyah.

Selanjutnya kopyah tersebut dipasangkan langsung kepada sirah (kepala) KH. Saifouridzall dengan kedua tangan beliau sendiri Setelah itu, beliau berusaha kembali untuk merebahkan diri, lalu berdzikir dan beliau kembali wafat untuk selamanya.

Almarhum KH. Mohammad Hasan Saiful Islam bercerita dalam satu kesempatan, bahwa Kiai Hasan Sepuh setiap harinya tidak pernah berhenti berdzikir. Bahkan di dalam tidur, beliau berdzikir lafad Laa Ilaaha Ilallah dalam setiap tarikan nafasnya.

Kiai Saiful Islam bertutur, Kiai Hasan Saifouridzall beberapa kali berkisah bahwa meski Kiai Hasan Sepuh sudah dinyatakan wafat, namun jari telunjuk beliau tidak berhenti bergerak untuk berdzikir kepada Allah Subhaanahu Wata’ala.
Pada malam Kamis, pukul 23.30 tanggal 11 Syawal tahun 1374 Hijriyah, bersamaan dengan tanggal 01 Juni 1955 Masehi, Kiai Hasan Sepuh berpulang ke Rahmatullah.

Kabar menyebar cepat mengikuti arah angin. Masyarakat berbondong-bondong menuju Genggong. Ribuan kaum muslim tumpah ruah dari dari segenap penjuru arah di wilayah sekitar Genggong.

Saat-saat yang paling mengharukan pun tiba. Ketika Habib Sholeh Al-Muhdlar membacakan Talqin Mayit di dekat telinga jenazah KH. Mohammad Hasan yang membujur miring ke arah kiblat sembari dirangkul pundaknya dan disaksikan oleh ribuan kaum muslim yang mengambang air matanya. Air mata kesedihan dan rasa haru tak terbendung lagi oleh semua yang hadir waktu itu. Habib Sholeh sendiri pun menangis tersedu.

Sekitar tahun 1951, Kiai Hasan berkunjung ke kediaman Husain bin Hadi Al Hamid di Desa Brani, Kecamatan Maron sambil bawa oleh-oleh setengah kaleng kurma. Pada saat itu ekonomi Habib Husain sedang kekurangan. Musholla yang ada tidak layak ditempati dan perlu diprebaiki.

Jembatan menuju kediamannya hanya terbuat dari dua lonjor bambu yang tidak bisa dilalui mobil. Kehadiran Kiai Hasan, itu dimanfaatkan oleh Habib Husain untuk meminta doa Kiai Hasan. Habib Husain berkata, ”Kiai, tolong doakan musholla saya ini, Kiai”. ”Baik, Habib,” jawab Kiai Hasan yang lantas berdoa.

Sejenak Kiai Hasan berkata lagi, ”Bukan hanya musholla, tapi juga harus gedung dan mobil harus bisa masuk.”

Tiga hari kemudian, ada beberapa orang membawa batu merah, kemudian pasir, dan beberapa bahan bangunan yang lain. Sehingga tidak lama kemudian terkumpullah bahan-bahan yang cukup untuk membangun Musholla, rumah, serta jembatan yang kuat untuk dilalui mobil.

  1. Berjumpa Nabi Khidir
    (Dikisahkan oleh Habib Mukhsin Bin Ali As-Seggaf Pasuruan. Dikisahkan kembali oleh cucunya Sayyid Muhammad Pasuruan)
    PADA suatu hari Habib Mukhsin datang sowan kepada Kiai Hasan. Saat keduanya berada di ruang tamu, tiba-tiba datanglah seorang lelaki berpakaian seragam hitam-hitam. Dia lantas memberi uang kepada Habib Mukhsin sebanyak 7 Ringgit uang Belanda.
    Uang itu diterima oleh Habib Mukhsin,kemudian diberikan lagi kepada pemberi tadi untuk disadaqahkan. Orang itu menerima uang itu kembali seraya mengucapkan terima kasih. Setelah itu ia pergi.
    Habib Mukhsin merasa heran, lalu beliau bertanya pada Kiai Hasan, ”Siapakah tamu itu, Kiai?”.

Kiai Hasan tidak menjawab. Habib Mukhsin bertanya hingga tiga kali, baru setelah itu Kiai Hasan menjawab, ”Itulah dia Nabiyullah Khidir”.
Mendapat jawaban itu, Habib Mukhsin lalu merangkul KH. Mohammad Hasan dengan penuh keharuan.

  1. Perahu Nelayan yang Karam
    (Dikisahkan oleh KH. Ahmad Mukhdar, Situbondo)
    SETELAH menunaikan sholat jum`at, Kiai Hasan berjalan menuju. Saat itu Kiai Hasan tanpa diduga berteriak, “Inna Lillah!! Inna Lillah!!” sambil menghentak-hentakkan tangan yang kelihatan basah. Saat itu jarum jam menunjukkan pukul 1 siang.

Tiga hari kemudian, pada hari senin pagi, ketika Kiai Hasan sedang menerima tamu-tamunya, salah satunya KH. Mukhdar, datanglah dua orang tamu yang terlihat kepayahan, seakan-akan baru melakukan perjalanan jauh. Ketika dua orang itu melihat wajah Kiai Hasan, salah seorang dari keduanya berkata, ”Inilah dia, orang yang menolong kita tiga hari yang lalu”.
Bersamaan dengan itu KH. Mohammad Hasan mengucapkan bacaan Hamdalah sebanyak tiga kali dengan wajah berseri-seri.

Dari sikap dan ucapan orang itu, KH. Mukhdar bertanya kepada kedua orang tamu tersebut apa kiranya yang telah terjadi, maka berceritalah kedua orang tamu itu :
”Tiga hari yang lalu, hari jumat, kami berdua dan kawan-kawan yang lain sedang naik perahu menuju Banjarmasin. Di tengah perjalanan tiba-tiba perahu kami oleng akibat badai, dan selanjutnya perahu itu tak dapat tertolong lagi. Namun kami berdua dan kawan-kawan sempat diselamatkan berkat kehadiran dan pertolongan yang datang dari seorang sepuh yang tidak kami kenal. Saat itu sekitar jam satu siang bada Jum`at.

Kejadian selanjutnya tidak bisa kami ingat lagi. Ketika sadar, kami sudah terdampat di tepi pantai Kraksaan (desa Kalibuntu). Kami merasa gembira dan bersyukur, karena masih diselamatkan dari malapetaka itu. Kami ingat bahwa yang menolong kami dari malapetaka itu adalah orang tua yang nampaknya sangat alim, maka terdoronglah hati kami untuk sowan kepada kiai sepuh yang dekat dengan tempat di mana kami terdampar.

Kami bertanya kepada orang-orang yang kami jumpai, apakah di sekitar tempat itu ada seorang kiai yang sepuh. Lalu kami disuruh menuju tempat ini. Setelah sampai di sini (Genggong), ternyata orang sepuh yang telah menolong kami dan kawan-kawan itu adalah orang ini. Bersamaan dengan itu, tangan si tamu menunjuk ke arah Kiai Hasan Sepuh.

  1. Mimpi yang Indah
    (Dikisahkan oleh KH. Abdul Halim Siddiq, Tegal Sari Jember)
    PADA suatu malam KH. Abdul Halim Siddiq bermimpi indah dan baik. Beliau ingin mengetahui takwil mimpinya itu. Muncullah keinginan untuk sowan ke Kiai Hasan. KH. Abdul Halim yakin bahwa Kiai Hasan mampu mentakwili makna mimpinya dengan tepat dan jitu.
    Setibanya di Genggong, Kiai Hasan lantas berucap KH. Mohammad Hasan itu, ”Wah! Bagaimana orang ini, saya dianggap orang yang paling mahir menakwili mimpi seseorang”.

Kalimat itu terucap dengan irama dengan nadanya tidak mengiyakan anggapan orang-orang terhadap diri Kiai Hasan itu. Mendengar ucapan itu, KH. Abdul Halim setelah tertegun sejenak lalu kontan menyambung :
”Alhamdulillah Kiai, saya datang sekarang ini, lain tidak, justru memang mau menanyakan soal mimpi saya”. (tidak diceritakan oleh Kiai Abdul Halim isi mimpi beliau yang disampaikan kepada KH. Mohammad Hasan).

  1. Terhindar dari Kecelakaan
    (Dikisahkan Cerita dari HM Masykoer, Selogudig Pajarakan)
    PADA suatu ketika Kiai Hasan naik dokar. Di saat dokar Kiai Hasan melintasi rel kereta-lori di simpang tiga pajarakan, mendadak kudanya berhenti tepat di lintasan rel lori tersebut. Padahal saat itu sebuah trem (kereta api kecil) dengan cepatnya akan lewat dari arah barat.

Tapi sungguh di luar dugaan, ternyata trem yang berjalan cepat itu, tiba-tiba berhenti tepat di hadapan dokar Kiai Hasan. Peristiwa di atas sampai sekarang tetap diingat masyarakat. (RZI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *