CINTA TANAH AIR SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN PERDAMAIAN DUNIA

Ada tiga konsep tentang ukhuwah (persaudaraan), ialah ukhuwah islamiyah (persaudaraan sesama umat islam), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan sesama bangsa), dan ukhuwah basyariyah (persaudaraan sesama umat manusia). Dalam hal ini, sangat perlu ditekankan pada pentingnya ukhuwah wathaniyah. Ukhuwah wathaniyah harus di dahulukan daripada ukhuwah islamiyah. Alasannya, tanpa Negara, bagaimana umat islam bisa melakukan kegiatan keagamaannya?. Pentingnya tanah air dapat kita lihat dari perjalanan hijrah nabi Muhammad SAW dari mekkah menuju madinah. Nabi ingin mempunyai tanah air (negara) sehingga dakwah islam bisa berkembang dengan baik. Ini pula mengapa al quran masih menyebut-nyebut tentang kisah fir’aun serta kisah para nabi lainnya. Kisah-kisah tersebut menyingkapkan adanya sejarah tentang tanah air atau daerah yang pernah dihuni oleh raja-raja terdahulu dan para nabi dalam menjalankan pemerintahan dan misi kenabiannya.

Dalam pepatah arab dikatakan, “barang siapa yang tidak memiliki tanah air, maka tidak akan memiliki sejarah. Dan barang siapa yang tidak memiliki sejarah, maka akan terlupakan”. Contoh adalah bangsa kurdi yang tidak memiliki tanah air sehingga tercerai-berai hidup berdiaspora di turki, irak, suriah. Anehnya, di lingkungan keagamaan muncul pandangan yang membenturkan antara nasionalisme dan agama. Bahkan, banyak kelompok keagamaan yang menolak nasionalisme dan malah menyebutnya sebagai “kafir” atau thoghut. Jadi jangan heran jika di negeri-negeri yang tempat mayoritasnya umat islam sering kali terjadi pertumpahan darah. Lihatlah Afghanistan, Somalia, irak, atau suriah. Konflik di negeri-negeri muslim ini tampak sudah berada di ambang batas kemanusiaan. Apalagi, dengan kemunculan NIIS.

Kejadian di timur tengah tersebut menunjukkan, ternyata kesamaan dalam agama belum atau bahkan tidak mampu menyatukan masyarakatnya. Islam di timur tengah ternyata berpotensi menimbulkan konflik sebab salah tafsir yang kebablasan. Somalia dan Afghanistan mayoritas rakyatnya memeluk islam. Namun, yang terjadi ialah perang sesama saudara, saling berebut kekuasaan, dan penindasan oleh rezim berkuasa. Kejadian ini sangat berbalik fakta dengan apa yang terjadi di Indonesia. Semenjak dahulu, islam nusantara sudah memperlihatkan wajah lembut dan damai. Pertikaian memang terjadi, tetapi hanya lokal dan regional yang tak menimbulkan tragedi nasional seperti di irak atau suriah saat ini. Dan, konflik-konflik yang pernah terjadi di nusantara tersebut justru menumbuhkan sikap dewasa dan matang, seperti secara khusus kita melihat dalam perjalanan dakwah keislaman di bumi nusantara ini.

Perjalanan pendakwah islam di bumi nusantara membuktikan tidak adanya pertentangan antara nasionalisme dan ajaran islam. Mereka menyadari betul bahwa untuk bisa berdakwah, dibutuhkan tanah air yang kondusif. Para ulama nusantara dikenal sebagai cendekiawan berwawasan luas, penulis yang kreatif dan produktif, serta terlibat dalam berbagai aspek kehidupan sosial, politik, budaya, dan spiritualitas. Mereka adalah agen-agen perubahan, contohnya, Bukhori al jauha, Syamsuddin al sumatrani, Nuruddin ar-Raniri, dan lain-lain. Mereka tidak hanya telah meletakkan fondasi dakwah yang moderat, tetapi juga mampu memberikan bukti nyata bagi perjalanan historiografi dakwah islam nusantara yang menampakkan wajah islam yang jauh dari sikap dan tindakan radikal.

Hasilnya, bisa kita lihat hingga sekarang. Misalnya, nama-nama pesantren yang justru dikenal karena nama desa atau daerahnya, seperti pesantren Tebuireng, Krapyak, Termas, Genggong, Langitan, Buntet, Sidogiri, Sarang, Lirboyo. Ini jelas berbeda dengan munculnya pesantren dadakan yang dibangun oleh kelompok-kelompok radikal dan intoleran yang menonjolkan nama ke arab-araban. Bahkan, sama sekali tidak menghiraukan nama desa atau daerahnya karena anggapan yang terpenting buat mereka adalah nama-nama yang dipandang “islami”. Daerah tempat berpijak tidaklah penting. Yang terlihat di kalangan kelompok radikal seperti ini adalah penonjolan ukhuwah islamiyah semata dan meniadakan ukhuwah wathaniyah.

Jelaslah, islam di Indonesia tidak punya akar radikal. Munculnya radikalisme dan terorisme merupakan hasil adopsi kultur keagamaan yang datang dari luar, katakanlah, islam yang radikal lebih merupakan “produk impor”, layaknya sebuah produk yang di impor dari luar negeri dan kemudian dijajakan di dalam negeri. Arus komunikasi global dewasa ini yang memungkinkan orang begitu mudahnya menyerap paham-paham luar yang menjadi fakta adanya pergulatan “model baru” dalam memaknai dan menindaki ajaran islam. Kasus pemblokiran situs radikal menjadi bukti ketegasan untuk mempertahankan tanah air dari serangan informasi yang merusak.

Sikap moderat ala islam Indonesia, seperti yang dilakukan oleh NU dan Muhammadiyah ini sudah saatnya pula diekspor ke mancanegara, khususnya ke timur tengah. Kita lihat di timur tengah menunjukkan ke tidak berimbangan peranan ulama, antara ilmu yang dimiliki dan peranannya kepada kemaslahatan orang banyak, akibatnya, ulama di timur tengah tidak bisa memberikan kontribusinya pada saat terjadi konflik ditengah masyarakat. Ulama timur tengah hebat-hebat. Namun, kiprah mereka biasa-biasa saja, bahkan terlihat ibarat “macan kertas” karena hanya lihai berkhutbah atau menulis berjilid-jilid kitab, tetapi bisa dianggap lemah ketika dilapangan. ulama kita lebih baik. Ulama-ulama di negeri kita seperti KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan buya Syafi’i Ma’arif itu mampu meredam konflik diseluruh penjuru plosok negeri kita tercinta ini.

Walhasil, islam Indonesia adalah harapan bagi kehidupan masyarakat dunia pada masa yang akan datang. Potensi itu sangat besar karena posisi muslim Indonesia yang moderat. Oleh karena itu, saatnya kembali meneguhkan islam nusantara untuk peradaban Indonesia dan dunia.

MH Ghadavi Hanafi M (Mahasantri Mahad Aly Zainul Hasan Genggong)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *