Dalam beberapa syari’at yang dititahkan Allah swt. kepada hamba-Nya seringkali melalui proses dan diberikan secara bertahap (pelarangan riba, pengharaman khomer, perintah perang, perintah sholat, puasa dan lain-lain) demikian juga mengenai turunnya al-Qur`an yang diturunkan secara berangsur-angsur.
Tentunya ada hikmah dibalik kejadian diatas. Hal ini mengindikasikan bahwa Islam mengajarkan kepada umat muslim dalam perbaikan dan perubahan ke arah positif harus dilakukan dengan orientasi secara bertahap (اَلتَّغْيِيرْ اَلتِّجْرِيْدِي), revolusi yang secara bertahap dan berkesinambungan. Bukan perubahan yang secara total atau revolusi mendadak dan sekaligus (اَلتَّغْيِيرْ اَلْفُجَائِيْ).
Setiap proses dan jenjang tahapan harus dilalui oleh seseorang dalam meniti puncak hidupnya dengan baik. Dalam dunia pendidikan misalnya, anak SD harus melalui berbagai jenjang kelas sebelum akhirnya ia duduk di kelas akhir (enam) dan begitu seterusnya. Dalam urusan jabatan misalnya, seseorang harus melangkah dirinya dari pangkat bawah dan terus naik setahap demi setahap hingga ia berada di jabatan teratas. Dalam urusan harta misalnya, seseorang harus berjuang, serius dalam mengelola usahanya dan mengalami berbagai fase sebelum akhirnya ia hidup dengan bergelimang harta.
Kita dapat melihat kehidupan seseorang yang tidak melalui proses atau alur jenjang yang seharusnya ia lalui. Bagaimana mengelola organisasinya bagi pemimpin yang langsung diangkat menjadi atasan tanpa proses dari bawah, dan bagaimana mendistribusikan hartanya bagi jutawan yang kaya mendadak tanpa proses usaha. Bahkan dalam kaidah fiqh diterangkan:
مَنْ اسْتَعْجَلَ شَيْئًا قَبْلَ أَوَانِهِ عُوقِبَ بِحِرْمَانِهِ
“Barangsiapa yang tergesa-gesa untuk mendapatkan sesuatu sebelum waktunya, maka dia terhalang untuk mendapatkannya” (Abdurrahman Bin Abi Bakar as-Suyuti, Al-Asybah Wa an-Nadhair, jld. 1, hal. 152). Memang tidak semuanya seperti gambaran teori yang dipaparkan, tidak dipungkiri terdapat juga beberapa peristiwa seseorang bisa sukses dan berhasil dalam menjalankan hidupnya walaupun ia tidak melalui proses atau fase yang ada. Namun itu jarang terjadi dan tidak bisa dijadikan patokan, kaidah mengatakan “اَلْاَحْكَامُ لَا تُبْنَي عَلَى النَّوَاذِرِ” “Hukum alam tidak disandarkan pada hal-hal yang jarang terjadi”. Terakhir, dapatlah kita jadikan renungan maqolah Umar bin Abdul Aziz ketika ditanyaka putranya agar segera melakukan perbaikan secara total:لَا تَعْجَلْ يَا بُنَيَّ، فَإِنَّ اللهَ ذَمَّ الْخَمْرِ فِي الْقُرْآنِ مَرَّتَيْنِ، وَحَرَّمَهَا فِي الثَّالِثَةِ، وَإِنِّي أَخَافُ أَنْ أَحْمِلَ الْحَقَّ عَلَى النَّاسِ جُمْلَةً، فَيَدْفَعُوْهُ جُمْلَةً، وَيَكُوْنُ مِنْ ذَا فِتْنَةٍ
“Jangan tergesa-gesa wahai putraku, sesungguhnya Allah swt. mencela khomer dalam al-Qur`an dua kali, baru kemudian mengharamkannya pada tahap ketiga kalinya, sesungguhnya saya khawatir dan tidak mau mendorong manusia untuk melakukan perbaikan secara total (sekaligus), karena hal itu akan melahirkan fitnah” (Imam as-Syatibi, al-Muwaffaqat, jld. 2, hal. 148) Imam Syafi’i (Wakil Mudir PP. Ma’had Aly Zainul Hasan Genggong, Dekan Fak. Syariah Universitas Islam Zainul Hasan Genggong, dan Katib Syuriah MWCNU Krejengan Probolinggo)