Moderasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan menengahi suatu masalah. Menurut Ibnu al-Atsir moderasi (wasathiyah) memiliki arti keseimbangan antara dua hal yang tidak sama atau berkebalikan.[1] Adapun contoh moderasi tersebut yaitu keseimbangan antara ruh dan jasad, antara ijtihad dan nash, antara `aqal dan naql, antara dunia dan akhirat, antara ushul dan furu`, antara sarana dan tujuan, dan seterusnya.
Moderasi Islam dalam pandangan Kiai Afifuddin Muhajir memiliki dua pengertian. Pertama, moderasi berarti bukan ini dan bukan itu. Misalnya konsep Islam tentang nafkah adalah jalan tengah antara kikir dan israf, artinya Islam memberikan panduan agar pemberi nafkah tidak kikir dan tidak boros, melainkan ada diantara keduanya.[2] Hal ini bisa dilihat dalam firman Allah surat Al-Isra`,
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا [الإسراء/[29
“Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannyakarena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”
Pengertian kedua dari moderasi menurut Kiai Afifuddin Muhajir adalah bukan hanya ini dan bukan hanya itu, misalnya Islam antara jasmani dan rohani. Maksudnya Islam tidak hanya memperhatikan masalah-masalah yang bersifat jasmani dan tidak hanya mengurusi yang rohani saja, tetapi mengurusi keduanya secara berkesinambungan. Contoh lain, Islam antara nash dan ijtihad. Artinya hukum Islam tidak hanya didasarkan pada nash semata, namun juga melibatkan aktifitas ijtihad.[3] Untuk contoh yang terakhir ini dapat dilihat dari dialog antara Rasulullah dengan Muadz bin Jabal ketika diutus ke Yaman,
عَنْ أَصْحَابِ مُعَاذٍ مِنْ أَهْلِ حِمْصَ قَالَ : وَقَالَ مَرَّةً عَنْ مُعَاذٍ أَنّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ، لَمَّا بَعَثَ مُعَاذًا إِلَى الْيَمَنِ ، قَالَ لَهُ : كَيْفَ تَقْضِي إِذَا عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ ؟ ، قَالَ : أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ ، قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي كِتَابِ اللَّهِ ؟ ، قَالَ : أَقْضِي بِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ، قَالَ : فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ؟ ، قَالَ : أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو ، قَالَ : فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ بِيَدِهِ صَدْرِي ، قَالَ : الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم ، لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم
“Dari beberapa orang penduduk Himsh, diceritakan dari beberapa sahabat Mu`adz bin Jabal, bahwa sesungguhnya saat Rasulullah bermaksud mengutus Mu`adz untuk berdakwah ke negeri Yaman, beliau bertanya kepada Mu`adz: Bagaimana caramu memutuskan persoalan yang akan kamu hadapi? Mu`adz menjawab: saya akan memutuskannya berdasarkan Alquran. Nabi bertanya lagi: Jika dalam Alquran tidak Kamu temukan jawabannya? Mu`adz menjawab: dengan Sunnah Rasulullah. Sang Nabi pun bertanya lagi: andaikata di dua sumber itu tidak dijumpai jawabannya? Mu`adz pun menjawab: Saya akan berijtihad dengan menggunakan akalku untuk menyelesaikan hal itu dan saya tidak akan ceroboh dalam berijtihad. Setelah itu, Rasulullah saw. menepuh dada Mu`adz (sebagai pertanda setuju dan bangga atas kecerdasan Mu`adz bin Jabal, seraya bersabda: Segala puji bagi Allah Yang telah memberi taufiq kepada utusannya Rasulullah (Mu`adz) sesuai yang dikehendaki oleh Rasulullah.”[4]
Moderasi (wasathiyyah) merupakan ciri khas agama Islam yang merupakan perpaduan dan penyatuan dari konsep ta`adul, tawazun dan tawassuth. Ungkapan wasathiyyah bisa ditemukan dalam ayat Alquran dan Hadits Nabi berikut ini,
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا [البقرة/[143
“Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihanagar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.” (Al-Baqarah:143)
Sementara diantara hadits yang menjelaskan wasathiyah yaitu,
خَيْرُ الْاُمُوْرِ اَوْسَاطُهَا
“Sebaik-baik urusan adalah jalan tengahnya.”
Ada juga Hadits lain yang mirip dengan hadits di atas yaitu,
وَخَيْرُ الْاَعْمَالِ اَوْسَاطُهَا وَ دِيْنُ اللهِ بَيْنَ الْقَاسِى وَالْغَالِى
“Dan sebaik-baik amal perbuatan adalah yang tengah-tengah, dan agama Allah ada diantara yang beku dan yang mendidih”.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa moderasi merupakan ciri khas Islam yang memiliki ciri-ciri tawassuth, ta`adul dan tawazun dalam setiap pola fikir, pola bertindak, dan berperilaku. Pada tataran praktisnya, wujud moderat dalam Islam dapat diklasifikasi menjadi empat wilayah pembahasan,[5] yaitu: 1). Moderat dalam persoalan aqidah; 2). Moderat dalam persoalan ibadah; 3). Moderat dalam persoalan perangai dan budi pekerti; 4) Moderat dalam persoalan pembentukan syariat.
[1] Ibnu al-Atsir, Jam`i al-Ushul fi Ahadits al-Rasul, (Beitut: Maktabah Dar a-Bayan, 1969), Juz II, 319.
[2] Afifuddin Muhajir, Membangun Nalar Islam Moderat : Kajian Metodologis, (Situbondo: Tanwirul Afkar, 2018), 5.
[3] Ibid, 6.
[4] Abu Dawud Sulaiman bin al-Asy`ats al-Sajistani, Sunan Abi Dawud, (Beirut: al-Maktabah al-`Ashriyah, 2001), Juz III, 303.
[5] Abu Yazid, Membangun Islam Tengah : Refleksi Dua Dekade Mahad Aly Situbondo, (Yogyakarta: Lkis, 2010), 38.
Alhamdulillah….
Saya sangat suka ma’had aly Genggong sudah bisa buka akses wiebsite….
Maju terus raih barokahnya ….
Raih juga ilmunya …..
Enggi terima kasih atas apresiasinya kiai. Mohon dukungannya dan doanya